Hijrah, Pemikiran, dan Felix Siauw

Akhir-akhir ini begitu banyak fenomena agama yang terjadi . Beberapa kasus bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya pada tanggal 13 Mei 2018 yang melibatkan anggota keluarganya, termasuk anak-anak yang masih di bawah umur. 2018 juga ada beberapa perkumpulan yang memakai cadar di UIN Sunan Kalijaga, dan terbitlah keputusan dari rektor untuk mahasiswa UIN Jogja dilarang dalam bercadar, begitu banyak pro dan kontra atas keputusan rektor tersebut.
Awal 2020, Sebuah wawancara melibatkan seorang perempuan yang mengaku menjadi Warga Negara Indonesia dan bergabung dan menyesal berhijrah ke Suriah. Mereka bergabung bersama ISIS(Islamic State of Irak and Suriah). Sekaligus secara implisit menampilkan paradigm atau mode of thought.
Yang menjadi fokus perhatian adalah mengenai hijrah dan pemikiran Felix Siauw dari fenomena yang saya amati adalah menghubungkan variabel-variabel di atas dengan konteks sosial dan teknologi informasi sekarang (baca: internet) menjadi penting, mengingat di abad 21, hampir seluruh kehidupan masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari media digital dan teknologi informasi.
Beberapa kata-kata hijrah dari Felix Siauw.
Kapan Mau Hijrah
Sementara tiap saat maksiatmu terus menambahkan pertanyaan yang tak akan mampu engkau jawab di depan Allah, jadi beban, jadi penyesalan, yang memberatkanmu saat kiamat, menyulitkanmu saat hisab.
Kapan Mau Hijrah
Sementara kenikmatan yang engkau dapat semakin berkurang, ada batas yang tak bisa dilampaui lagi. Senang tapi hampa dalam hati, terasing dalam ramai, tertekan dalam luasnya hidup, sembunyi di balik topeng tipu.
Kapan Mau Hijrah
Sedangkan setiap sanjungan ada masanya, dan tiap yang membenci juga akan menemui mati. Tidak ada yang selama-lamanya, yang fana ada masanya. Ingat lima perkara sebelum lima perkara, kita sudah hafal.

Dinamika yang terjadi, banyak yang ingin berhijrah namun hijrahnya menuju lebih radikal, dengan memahami agama sebagai sebuah ideologi. Salah satu cirinya adalah dengan memahami agama secara tekstual. Ketika agama sudah menjadi sebuah ideologi, maka akan menjadi kaku. Pertanyaannya, harus dipahami seperti apa agama ini?
Beberapa saya membaca artikel, sebagai contoh Felix mengatakan bahwa orang yang berselfie adalah orang yang ujub, dan seharusnya menjadi umat Islam memiliki sifat malu. Ketelitian dalam menghukumi sebuah kasus, apalagi problematika keagamaan, dihargai murah oleh ustadz-ustadz baru dewasa ini. Berbeda jauh, bahwa para ulama sesungguhnya enggan mengakui diri sebagai mujtahid meski memiliki kematangan ilmu yang hampir setara dengan Imam-Imam ahli ijtihad jaman dahulu, yakni hafal Al-Qur'an dan banyak riwayat hadits sepaket dengan metodologi ilmiah mengupas sumber agama Islam tersebut.
Fenomena-fenomena agama ini menegaskan kepada kita, bahwa bagaimana pemahaman agama seseorang adalah suatu hal yang penting sehingga melakukan sesuatu juga melihat kaidah hukum sesuatu berdasarkan kitab suci, dan bahkan sederhannaya cara berpakaian pun juga diterapkan.
Berbicara makna hijrah, kita bahkan tak asing dengan tokoh-tokoh hijrah yang menjamur dalam masyarakat. Untuk melihat secara lebih fokus dan terarah, penulis akan mencoba mengambil sebuah contoh pemahaman keagamaan (baca: pemikiran) secara epistemologis Felix A. Siauw, sebagai suatu sampel keberagamaan di media sosial dan cukup memiliki peran yang berpengaruh di beberapa kalangan. menjelaskan tentang bagaimana instagram sebagai media baru mampu menjadi ruang dakwah bagi Felix Siauw.
Ia menjadi salah satu representasi pemahaman masyarakat dalam fenomena keagamaan hijrah ini pasca pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Bagaimana konsep dari pemahaman Felix A.. Siauw.
Makna hijrah yang seharusnya dari menghindari apa yang dilarang oleh agama dan melaksakan kebajikan, menjadi berbeda saat berrsinggungan dengan Felix. Beberapa penulis beberapa makna hijrah dari Felix. Ia mengatakan, fenomena hijrah di Indonesia saat ini sudah menjadi sunatullah (ketetapan Allah) yang tidak bisa dicegah oleh siapapun.
Perintah berhijrah dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah SWT dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan,” (Q.S. At-Taubah [9]: 20).
Gema hijrah oleh Felix terus dikumandangkan diberbagai media sosial, Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Faktanya, adapun hijrah yang saat ini dimaknai oleh para generasi kita hanyalah sebatas perubahan sikap, gaya hidup dan tata cara berpakaian sesuai syariat Islam. Hijrah dalam perspektif baru dimaknai secara lebih personal, perubahan diri dari segala masa lalu buruknya ke diri yang lebih baik dan fitrah.
Tak terhitung kalangan yang memaknai hijrah seolah menggambarkan sebuah perpindahan atau perubahan secara Islami, secara batin, tepatnya tobat. Segelintir orang memaknai hijrah sebagai tobat.
Hijrah oleh Felix ditandai dengan melakukan perintah Allah secara Kaffah. Ketika Rasul masih ada di Makkah belum ada di Madinah, beliau belum bisa menerapkan Alquran secara kafah. Setelah menerapkan Alqran secara kafah maka bisa kita lihat banyaklah lompatan-lompatan yang terjadi ketika beliau di Madinah.
Seharusnya menjadi umat beragama yang baik adalah membaca hijrah dengan kontekstual dan bukan memahami sesuatu secara tekstual. Islam kaffah buikan hanya dilihat dari berpakaian dan symbol-simbol lainnya. Bukankah manusia yang paling mulia adalah manusia yang bertaqwa.

Post a Comment

0 Comments