Hari ini, sepanjang jalan Yogyakarta-Jepara. Ku menulis tulisan ini dengan pandangku menatap gunung-gunung
berdiri kokoh di sepanjang jalan. Pikirku terngiang oleh mimpi-mimpiku yang
memaksaku untuk mewujudkannya. “Banyak Sekali” Desisku.
4 Jam perjalanan menuju rumah. Mimpi-mimpiku
semakin ingin terwujudkan. Entah lantaran karena semakin mendekati rumah atau
karena waktu yang terus berjalan. Tetap saja, aku selalu ingat aku memiliki
sahabat seperjuangan, sahabat semimpi, sahabat seprogam jurusan. Mereka
memaksaku agar aku mencintai ilmu pengetahuan, mereka memaksaku untuk menulis, mereka
memaksaku agar setiap langkah Aku selalu membaca.
Hari tahun ini orang-orang mengatakan ini
adalah tahun baru, awal semangat baru. Pesta kembang api semalam yang membuat
gaduh langit Yogyakarta. Sementara aku di tempat suci, Pondok. Hanya tidur dan
mendengarkan suara Habib Syekh, tanpa perayaan. Di sela-sela itu, aku merancang
masa depanku. Memikirkan agar menjadi orang yang bermanfaat. Aku jadi teringat
sebuah film yang pernah ku resensi judulnya Death poets society. Di film ini
menceritakan ada sebuah perkumpulan anak yang berjuang untuk mendapatkan
impiannya. Tepat sekali. Film ini menceritakan The Aurora Institute, Inisiatif
siapa? Ya Asla, Mifta, farih, dan sukma.
Tahun 2017 kita berdiri dengan sembunyi
tanpa adanya misi dan visi yang jelas. 2018 kita merencanakan target-target
kita yang begitu banyak. Sayang travel yang melaju ini begitu cepat. Jalanan tampa
renggang. Aku sampai Semarang. Ku lanjutkan socialdiaryku ini. Aku begitu
senang menjadi bagian The Aurora Institute. Begitu memiliki teman seperjuangan.
Rasanya waktuku tak ingin ku sia-siakan. Melangkah bersama mereka berdiskusi, membaca,
dan menjadi orang berguna untuk masyarakat.
Rasanya macet sedang menghantuiku di
sepanjang jalan Kaligawe Semarang. Tatapan wajah kedua orangtuaku begitu
membuatku nyaris menangis. Tenang, aku memiliki mimpi untuk membahagiakan mereka
.
Ku teruskan ceritaku tentang The Aurora
Institute. Mungkin sebelumnya sudah dijelaskan secara formal oleh teman seperjuangan
saya Farih, saya hanya menambahi sebagai pandangan perempuan yang begitu perasa
oleh keadaan.
Aku duduk di mobil saat ini, Aurora
institute bagaikan keluargaku. Keluarga yang selalu menuntutku untuk berkarya. Tulisan
ini lebih cocok sebagai tuntutan. Walaupun aku bertahun-tahun menjadi seorang
jurnalis terlatih menulis tetapi detik ini hanya ingin bercerita saja.
Ternyata aku sudah
sampai di Jepara. Nanti aku ingin menunjukkan kepada tanah kelahiranku, The
Aurora Institute akan berkontribusi untuk kemajuan bangsa untuk peradaban ilmu
pengetahuan. Aku sangat salut dengan para pendahulu-pendahuluku. Harun Ar
rasyid. Masa bani Abbasiyyah begitu mendirikan baitul hikmah dengan
memgumpumpulkan para cendekiawan untuk berdiskusi. Harapan terbesarku bersama
The Aurora Institute Mendirikan baitul Hikmah, aku ingin Harun Ar rasyid tersenyum
kembali dengan kehadiran Baitul Hikmah versiku, sekian.
Written by:
Mifta Kharisma.
(Perempuan perindu cendekiawan-cendekiawan muslim Timur Tengah)
Mifta Kharisma.
(Perempuan perindu cendekiawan-cendekiawan muslim Timur Tengah)
Jalan antara Yogyakarta-Jepara, 01 Desember 2019, pukul: 11.12.
0 Comments